Minggu, 19 Maret 2017

KERUSAKAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PULAU SIOMPU KABUPATEN BUTON , SULAWESI SELATAN

KERUSAKAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PULAU SIOMPU KABUPATEN BUTON , SULAWESI SELATAN
FEBRIAND MADIKA - 08151013

            Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang dua per tiga nya adalah lautan kemudian sisanya merupakan daratan. Indonesia memiliki 17.805 buah pulau yang memiliki garis pantai terpanjang kedua didunia di dunia setelah Kanada, yaitu sepanjang 81.000 km2. Sepanjang garis pantai di indonesia terdapat 51.000 km2 terumbu karang yang menyumbang 18% luas total terumbu karang dunia  (Arief, 2011) . Selain terumbu karang, kawasan pesisir Indonesia juga terdiri dari estuaria, padang lamun, dan mangrove. Wilayah pesisir ini sendiri sangat lah berguna bagi kepentingan manusia. Secara mikro sumberdaya kawasan pesisir dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup esensial penduduk sekitarnya sedangkan secara makro, merupakan potensi yang sangat dibutuhkan dalam rangka menunjang kegiatan pembangunan nasional disegala bidang. (Hutomo, 1987). Maka dari itu keberadaan potensi sumber daya alam hayati dan non hayati perlu dikelolah dan dimanfaatkan secara bijaksana sehhingga dapat lestari dan berkesinambungan. Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang menjadi tempat kehidupan bagi beraneka ragam biota laut.
Menurut Lauretta(2012) , Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang paling produktif didunia dan juga merupakan tempat paling kaya akan keanekaragaman hayati. Terumbu karang juga sering menghadapi sederet panjang ancaman yang semakin hebat, termasuk penangkapan berlebihan, pembangunan pesisir, limpasan dari pertanian dan pelayaran. Selain itu Ekosistem terumbu karang adalah lingkungan alami yang berkembang namun dapat diubah oleh manusia dengan pemanfaatan yang tidak rasional. Hal inilah yang menimbulkan persoalan betapa pentingnya pemeliharaan produktivitas terumbu karang sebagai prioritas dalam strategi konservasi dun. ia. Odum (1971) mengatakan bahwa ekosistem terumbu karang memiliki daya pulih yang sangat rendah terhadap kerusakan yang terjadi didalamnya. Menurut Ministry of State for Environment (1986) dalam Supriharyono (2002), diperkirakan hanya 7% terumbu karang di indoneisa yang kondisinya sangat baik, 33% baik, 46% rusak dan 15% dalam kondisi sangat kritis. Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2012), menyebutkan bahwa terdapat beberapa penyebab rusaknya terumbu karang , diantaranya adalah sedimentasi , hal ini terjadi karena adanya penambangan atau pertanian di daerah aliran sungai ataupun penebangan hutan tropis yang menyebabkan tanah hutan mengalami erosi dan terbawa melalui aliran sungai ke laut dan terumbu karang yang menyebabkan air menjadi kotor dan tidak jernih lagi sehingga terumbu karang tidak dapat bertahan hidup lama karena kurangnya cahaya. Kemudian adanya penangkapan ikan dengan bahan peledak, cara yang satu ini biasa dilakukan oleh nelayan yang ingin mendapatkan ikan dengan cepat dan banyak , namun metode ini dapat menyebabkan kematian ikan-ikan kecil selain itu bahan peledak ini juga merusak terumbu karang yang ada disekitarnya. Setelah itu adanya pengumpulan dan pengerukan terumbu karang yang akan di buat sebagai bahan bak konstruksi atau pun dijual untuk cindera mata juga dapat merusak terumbu karang. Kemudian yang terakhir adalah pengambilan terumbu karang oleh wisatawan yang digunakan sebagai hiasan , oleh-oleh , ataupun diperjual belikan, selain itu biasanya wisatawan warga sekitar juga meninggalkan sampah yang dapat mencemari air laut. Bahan kimia yang terkandung dalam sampah, seperti sampah plastik dapat mengganggu ekosistem air laut sehingga biota laut seperti terumbu karang akan mengalami kesulitan untuk berkembang bahkan tidak jarang yang mati akibat sampah ini.
Kabupaten Buton merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara yang secara geografis terletak dibagian selatan garis khatulistiwa, memanjang dari utara ke selatan diantara 4,96o – 6,25 o lintang selatan dan membentang dari barat ke timur diantara 120,00 o – 123,34 o Bujur Timur, meliputi sebagian pulau Muna dan Buton. Kabupaten Buton memiliki daratan seluas kurang lebih 1.182,40 km2 (BPS Buton, 2016). Kabupaten ini terdiri dari 10 pulau yang terbagi menjadi 6 pulau berpenghuni dan sisanya adalah pulau tak berpenghuni. Salah satu hal yang menarik adalah pulau-pulau ini memiliki kekayaan alam flora dan fauna antara lain taman laut yang menyebar di sekeliling yang didalamnya hidup berbagai jenis ikan dan tumbuhan laut yang sangat indah, juga jenis terumbu karang pesisir. Pulau Siompu merupakan salah satu dari kesepuluh pulau di kabupaten Buton dengan terumbu karang yang indah dan masih merupakan sentra pertemuan nelayan penangkap ikan. Pulau ini merupakan salah satu daerah Fishing ground yang potensial daripada pulau-pulau kecil lainnya dengan hasil tangkapan ikan permukaan diantaranya adalah lemuru (Sardinella longiceps) , Cumi – cumi (loligo, sp), Tongkol (Nueuthynsattinis), Layang (Decapterus spp) dan masih banyak lagi. Sebagian besar penduduk pulau Siompu sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan sehingga dapat diasumsikan bahwa aktifitas masyarakat sehari-hari akan berhubungan dengan keberadaan lokasi ekosistem terumbu karang di sekitarnya. Sebagian masyarakat di pulau siompu melakukan penangkapan ikan dengan cara sendiri yang mereka anggap mudah namun tidak memperhatikan dari segi kelestarian dan keberlanjutan ekosistem terumbu karang kedepannya. Cara yang dimaksud disini adalah penggunaan bahan peledak dan racun ikan (potassium cyanida) atau yang biasa disebut sianida. Faktor lain yang menyebabkan kerusakan pada ekosistem terumbu karang di pulau Siompu adalah kegiatan pengambilan batu karang (stony coral) untuk berbagai keperluan seperti pengerasan jalan, fondasi rumah, maupun digunakan sebagai penghalang ombak yang secara langsung berdampak negatif terhadap pertubuhan dan perkembangan terumbu karang di pulau Siompu . Pakpahan (1996) dalam Haruddin (2011).
Berdasarkan Undang-undang Republik Indoneisa nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah pesisir dan pulau-pulau, Pasal 66 ayat (1) menyebutkan bahwa Setiap Orang dan/atau penanggung jawab kegiatan yang melawan hukum dan mengakibatkan kerusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini wajib membayar ganti kerugian kepada negara dan/atau melakukan tindakan tertentu berdasarkan putusan pengadilan. Berdasarkan peraturan tersebut maka Sebaiknya Pemerintah Daerah dapat atau perlu memberlakukan sanksi kepada pihak-pihak yang melakukan pengrusakan ekosistem terumbu karang sehingga dalam jangka panjang keberlangsungan dan kelestarian terumbu karang dapat terjaga.

Selain dengan peraturan, untuk menjaga kelestarian Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Siompu perlu melibatkan masyarakat dalam upaya untuk melestarikan Ekosistem Terumbu Karang. Dalam pencegahan kerusakan Terumbu karang, masyarakat perlu ikut andil dalam membantu Pemerintah Daerah dengan cara pemberian pengetahuan tentang bahaya penggunaan bom ikan dan juga racun ikan terhadap Ekosistem Terumbu Karang dan juga keberlangsungan ikan itu sendiri. Kemudian selain Pemberian sosialisasi perlu adanya rehabilitasi terhadap terumbu karang yang rusak sehingga dapat mempercepat pemulihan terumbu karang yang rusak akibat aktifitas masyarakat .



DAFTAR PUSTAKA
Arief, M., G. Winarso., T. Prayoga. 2011. Kajian Perubahan Garis Pantai Menggunakan Data
            Satelit Landsat di Kabupaten Kendal. Jurnal Penginderaan Jauh 8 (1) : 71-80.
Badan Pusat Statistik. 2016. Kabupaten Buton Dalam Angka 2016. Juli. BPS Kabupaten Buton.
            Buton.
Haruddin,A., E. Purwanto., S. Budiastuti. 2011. Dampak Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang
            Terhadap Hasil Penangkapan Ikan Oleh Nelayan Secara Tradisional di Pulau Siompu
            Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal EKOSAINS 3(3).
Hutomo, M., M.H. Azkab. 1987. Peranan Lamun di perairan laut dangkal. 12(1) :13-23.
Lauretta, B., K. Reytar., M.Spalding., M. Perry,A. 2012. Menengok Kembali Terumbu Karang
            yang Terancam di Segitiga Terumbu Karang. World Resources Institute.
Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Sounders Company Ltd. Philadelphia.
Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis.
            Pt. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
            Pulau-Pulau Kecil.
17 Juli 2007. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
            Nomor 84. Jakarta.