Kamis, 20 Desember 2018

Pengelolaan Pariwisata Pesisir Kota Cirebon yang berkelanjutan dengan pembangunan Waterfront City


Pengelolaan Pariwisata Pesisir Kota Cirebon yang berkelanjutan dengan pembangunan Waterfront City
Komitmen Negara Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar menjadikan isu pengembangan potensi sumberdaya alam sebagai isu sentral untuk membangun kesejahteraan masyarakat. Kondisi geografis Indonesia yang memiliki panjang pantai hingga kurang lebih 81.000 km yang merupakan pantai terpanjang di dunia , dengan jumlah pulau mencapai lebih dari 17.500 ini menjadi topik pembahasan yang sangat penting dalam pengembangan potensi dari segi kelautan di Indonesia. Keadaan ini juga yang menyebabkan kawasan pesisir menjadi andalan sumber pendapatan masyarakat Indonesia.
Wilayah pesisir sendiri memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Kemudian menurut Kay dan Alder pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan. Transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir ini telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luas biasa tehadap manusia.  Dalam Pengelolaannya , menurut UUD Negara RI 1945 pasal 33 ayat 3 , secara normatif kekayaan sumberdaya pesisir dikuasai oleh Negara untuk dikelola sedemikian rupa dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat pesisir  perlu adanya perencanaan. Perencanaan pembangunan pesisir pantai yang berkelanjutan mempertimbangkan atau memperhatikan pula perkembangan kawasan perkotaan dimana kawasan  pesisir pantai itu berada. Pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan pembangunan waterfront city.
Carr (1992) mendefinisikan waterfront area atau kawasan tepi air sebagai area yang dibatasi oleh air dari komunitasnya yang dalam pengembangannya mampu memasukkan nilai manusia, yaitu kebutuhan akan ruang public dan nilai alami. Sedangkan Wrenn (1983) mendefinisikan Waterfront development sebagai interface between land and water, yang mengartikan bahwa kata interface disini mengandung pengertian adanya kegiatan aktif yang memanfaatkan pertemuan antara daratan dan perairan. Adanya kegiatan inilah yang dapat membedakan kawasan waterfront city dengan kawasan lain , yaitu meski memiliki unsur air apabila unsur airnya dibiarkan pasif maka tidak dapat disebut waterfront development. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian Waterfront development adalah pengolahan kawasan tepian air yaitu kawasan pertemuan antara daratan dan perairan dengan memberikan muatan kegiatan aktif pada pertemuan tersebut. Perairan yang dimaksud bisa berupa air alami (laut, sungai , danau) atau unsur air buatan (kolam, danau buatan). Sedangkan muatan kegiatan bisa berupa aktifitas perairan seperti berperahu atau aktivitas lain yang memanfaatkan pemandangan sekitar daerah perairan.
Kota Cirebon terletak di pantai Utara Provinsi Jawa Barat dan berbatasan dengan sungai kedung pane di sebelah utara, sungai banjir kanal atau kabupaten Cirebon di sebelah barat, sungai kalijaga di sebelah selatan, dan laut jawa di sebelah timur . Kota yang memiliki iklim tropis ini terdiri atas 5 kecamatan, yaitu kecamatan Harjamukti, Lemahwungkuk, Pekalipan, Kesambi, dan Kejaksan. Letaknya sangat strategis karena merupakan simpul transportasi dari Jakarta menuju Provinsi Jawa Barat bagian Timur dan Provinsi Jawa Tengah melalui jalur utama lintas pantai utara, selain itu Kota Cirebon juga memiliki pelabuhan yang terletak di kecamatan Lemahwungkuk. Keberadaan Pelabuhan ini membuka akses dari luar kota Cirebon untuk dapat masuk ke kota Cirebon . Letak yang strategis tadi menjadikan suatu keuntungan bagi kota Cirebon, terutama dari segi perhubungan dan komunikasi. Kota Cirebon yang secara geografis berada pada posisi 108034’57” BT dan 6042’56” LS pada pantai utara pulau jawa ini memiliki kondisi pesisir yang perlu dikembangkan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi.
Lokasi Kota Cirebon yang terletak di wilayah pantai dan mempunyai panjang +- 7km, dengan diberlakukannya otonomi daerah maka daerah tersebut memiliki kewenangan untuk mengelolah wilayah laut sampai 4 mil, dan menjadikan Cirebon memiliki luas wilayah perairan 51,86 km2 atau 58,13% dari total luas wilayah daratan dan lautan yang mengyebabkan mayoritas masyarakat pesisirnya berprofesi sebagai nelayan. Persoalan Umum yang paling mendominasi kehidupan masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan adalah kemiskinan. Sebagai contoh pada Kecamatan Lemahwungkuk terdapat 2.6944 keluarga miskin dan pada Kecamatan Kejaksan terdapat 2.751 keluarga miskin. Selain masalah kemiskinan , permasalahan lain yang dihadapi kota Cirebon saat ini adalah wilayah administrasi kota nya yang kecil dan potensi yang dimiliki kota Cirebon kurang berkembang karena keterbatasan sarana prasarana. Kondisi wilayah pesisir yang kurang baik akibat terjadinya abrasi ombak laut dan belum adanya penataan di wilayah pesisir juga merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi kota ini. Meski begitu, Kota Cirebon sebagai daerah yang kondisi geografisnya merupakan dataran rendah memiliki kondisi pesisir yang dapat dikembangkan, seperti potensi di bidang kesejarahan dan peninggalan sejarah seperti keraton-keraton dan makam sunan dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi kota Cirebon. Selain itu, terdapat juga potensi di bidang kuliner, Sumber Daya Alam dan sumber daya manusia atau yang biasa disebut SDM. Potensi ini dapat digunakan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi Kota Cirebon sendiri. Berdasarkan berbagai permasalahan diatas yang telah dijabarkan, maka perlu adanya penataan dengan membuat konsep Waterfront City pada kawasan Pesisir Kota Cirebon. Untuk menjalankan konsep Waterfront City kota Cirebon memerlukan adanya perluasan wilayah administrasi. Pembangunan pesisir pantai ini merupakan pembangunan yang berkelanjutan, yakni pembangunan nya luas dan dalam jangka panjang. Waterfront City akan dibangun di atas tanah reklakmasi tersebut dan tata ruang kota perlu diperhatikan dalam membangun waterfront city di pesisir pantai Cirebon. Sehingga, pembangunannya dapat memenuhi tujuan yang hendak di capai, yakni meningkatkan dan mengembangkan potensi yang ada di pesisir pantai kota Cirebon.
Aksesibilitas pesisir pantai kota Cirebon mengandalkan keberadaan Pelabuhan Cirebon. Optimalisasi Pelabuhan Cirebon akan meningkatkan aktivitas dalam pelabuhan. Hal ini perlu didukung dengan infrastruktur yang memadai dalam pelabuhan. Selain itu diperlukan juga sarana dan prasarana di sekitar pelabuhan untuk meningkatkan aktivitas di pesisir pantai kota Cirebon karena ini akan berdampak pada keberhasilan Konsep Waterfront City itu sendiri. Kondisi di sekitar pantai yang akan dibangun waterfront city juga perlu diperhatikan. Keadaan gelombang laut di pantai utara kota Cirebon, pola sedimentasi yang terjadi dan berbagai hal lainnya perlu ditinjau dalam perencanaan pembangunan untuk melindungi pantai dengan memberikan pemecah gelombang lepas pantai.  Pemecah gelombang lepas pantai adalah bangunan yang terpisah dari pantai dan sejajar dengan garis pantai. Gelombang yang menuju pantai terhalang oleh bangunan tersebut sehingga gelombang yang sampai pantai sudah mengecil dan energi untuk merusak pantai berkurang. Daerah di belakang bangunan menjadi  tenang. Transport sedimen sepanjang pantai yang berasal dari daerah di sekitarnya akan diendapkan di belakang bangunan. Pengendapan tersebut menyebabkan terbentuknya salient. Apabila bangunan ini cukup panjang terhadap jaraknya dari garis pantai, maka akan terbentuk tombolo. Pemecah gelombang lepas pantai terdiri dari suatu seri pemecah gelombang. Wilayah muara sungai yang dijadikan sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal nelayan pun perlu diberi perlindungan agar tidak terjadi sedimentasi yaitu dengan membangun jetty.
Jetty adalah bangunan tegak lurus pantai yang diletakan pada kedua sisi muara sungai yang berfungsi untuk menahan sedimen atau pasir yang bergerak sepanjang pantai masuk dan mengendap di muara sungai. Pada penggunaan muara sungai sebagai alur pelayaran, pengendapan di muara dapat mengganggu lalu lintas kapal. Untuk keperluan tersebut jetty didesain harus panjang sampai ujungnya berada di luar gelomabng pecah. Jetty yang panjang membuat transport sedimen sepanjang pantai dapat tertahan. Kondisi gelombang pada alur pelayaran tidak pecah, sehingga memungkinkan kapal masuk ke muara sungai. Pembangunan jetty atau pemecah gelombang dapat melindungi kawasan reklamasi pantai yang di atasnya akan didirikan waterfront city. Hal ini dapat mengurangi terjadinya abrasi di kawasan reklamasi tersebut. Jika kawasan  reklamasi sudah terlindungi, maka tahap perencanaan dilanjutkan dengan menata kota baru di tepi laut atau waterfront city.
Pada konsep waterfront city yang akan dibangun , pertama yang ada didalamnya adalah permukiman nelayan. Pemukiman nelayan menjadi salah satu ikon penting dalam pembangunan Waterfront City , karena persebaran penduduk yang tidak merata dan banyaknya perkampungan nelayan yang bisa dikatakan kumuh menjadi salah satu masalah bagi pemerintah kabupaten Cirebon sendiri. Pembangunan pemukiman nelayan di dalam Waterfront City ini diharapkan menjadi solusi bagi pemerintah kota dalam mengatur permukiman penduduk pesisir di area tersebut. Kedua Tambak Udang, Tambak udang menjadi komoditi yang sangat penting dan menjadi salah satu sumber pendapatan daerah terbesar. Dengan adanya tambak udang di Waterfront City  diharapkan dapat meningkatkan efektifitas dalam produksi dan distribusi dari hasil Tambak tersebut. Selain itu juga Waterfront City dapat menjadi salah satu akses menuju pelabuhan. Kemudian Pusat Kebudayaan , Cirebon mempunyai kebudayaan yang sangat kaya, batik trusmi yang menjadi satu daya tarik terkuat. Motif-motifnya yang khas menjadikan batik trusmi banyaik dicari oleh wisatawan untuk dijadikan buah tangan. Pembangunan pusat kebudayaan di Waterfront City ini diharapkan menjadi salah satu ajang promosi bagi kota Cirebon, terlebih di bidang pariwisata dan budaya. Lalu perlu adanya Ruang Terbuka Hijau yang didalamnya terdapat tempat rekreasi, sentra kebudayaan dan pusat ekonomi di dalam Waterfront City. Selain itu, Ruang terbuka hijau ini dapat berfungsi sebagai tempat parkir dan assembly point jika terjadi hal mendesak. Kemudian perlu adanya tempat pengolahan limbah mandiri didalamnya sebagai langkah untuk meminimalisir dampak negative dari aktivitas pembangunan yaitu dengan cara membangun sebuah alat pengolahan limbah pada kawasan waterfront, sehingga limbah yang ada tidak langsung menuju laut melainkan melalui kegiatan pengolahan terlebih dahulu agar tidak mencemari kawasan pantai. Hal lain yang perlu ada didalam Waterfront City ialah Pasar. Pasar merupakan pusat ekonomi yang sangat penting dan menjanjikan bagi masyarakat pesisir itu sendiri. Kegiatan jual beli, baik hasil laut, hasil tambak, hasil olahan laut, bahkan hasil kreatifitas masyarakat berupa cinderamata dapat dijual disini. Hal penting lainnya yang perlu ada di Waterfront City adalah pengolahan hasil laut. Dimana Olahan hasil laut berupa terasi adalah produk unggulan yang dimiliki oleh kota Cirebon. Pembangunan tempat pengolahan hasil laut yang langsung terhubung dengan pusat kegiatan nelayan dan pemasaran diharapkan mampu memaksimalkan produktifitas pengrajin yang akan berpengaruh kepada taraf kehidupan masyrakat itu sendiri. Kemudian perlu adanya tempat rekreasi. Pantai Utara Cirebon yang tergolong kumuh dan kurang baik dalam penataannya jika ditangani dengan serius bukan tidak mungkin akan menjadi satu daya tarik bagi wisatawan. Tempat rekreasi berada di ujung Waterfront City dekat perairan. Selain itu, di area ini aka nada panggung pertunjukan dan ikon kota Cirebon itu sendiri yang memungkinkannya menjadi objek wisata baru yang menjanjikan. Dan yang terakhir yaitu pusat kegiatan nelayan. Pada pusat kegiatan nelayan ini terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI), kegiatan bongkat muat, perawatan jarring-jaring, dan alat tangkap ikan lainnya, serta penyortiran hasil tangkapan laut. Area ini dijadikan sebagai pusat aktivitas nelayan yang akan datang dan pergi melaut.









Daftar Pustaka :
-Carr S, Francis M, Stone A.M, Rivlin L.G. 1992. Public Space: Environment and Behaviour Series, Cambridge. Cambridge University Press
-Kay dan Alder.1999. Coastal Planning and Management, Second Edition. Taylor and Francis. New York
-Sutrisno, E. 2014. Implementasi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Berbasis Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu Untuk Kesejahteraan Nelayan (Studi di Perdesaan Nelayan Cangkol Kelurahan Lemahwungkuk Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon). Jurnal Dinamika Hukum Vol 14(1)
-Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 33 ayat 3 Tahun 1945. 10 Agustus 2002. Jakarta

Jumat, 10 Agustus 2018

BENTUK KERJASAMA ANTARA PEMERINTAH DAN SWASTA (KPS)


Bentuk Kerjasama Pemerintah-Swasta
Kerjasama antara Pemerintah dan Swasta atau yang biasa disebut dengan Public-Private Partnership (PPP) terbagi menjadi beberapa bentuk kerja sama, diantaranya sebagai berikut :
1.      1. Kontrak Pelayanan (Service Contract) (1 – 3 Tahun)
Bentuk kerjasama dimana mitra swasta diberi tanggung jawab melaksanakan pelayanan jasa untuk suatu jenis pelayanan tertentu dalam suatu jangka waktu tertentu . Pelayanan jasa yang dimaksud misalnya perawatan jaringan (maintenance), pencatatan meter, penagihan rekening.
2.      2. Kontrak Kelola (Management Contract) (3 – 8 Tahun)
Bentuk kerjasama dimana mitra swasta diberi tanggung jawab untuk mengelola prasarana/sarana milik pemerintah. Yang dikontrakkan adalah jabatan dalam suatu organisasi atau management saja
3.     3.  Kontrak Sewa (:Lease Contract) (10 – 15 Tahun)
Bentuk kerjasama yang dimana mitra swasta menyewakan ke pemerintah suatu fasilitas infrastruktur tertentu dalam suatu jangka waktu tertentu untuk kemudian dioperasikan dan dipelihara. Mitra swasta menyediakan modal kerja untuk pengoperasian dan pemeliharaan yang dimaksud, termasuk penggantian bagian-bagian tertentu. Misalnya pembangunan instalasi pengolahan air yang disewakan kepada pemerintah dalam jangka waktu tertentu.
4.     4.  Kontrak Bangun (Rehabilitasi) (10 – 30 Tahun)
Jenis kontrak ini dibagi menjadi 9 jenis kontrak, antara lain :
a.       Bangun , kelola, alih milik (Build Operate and Transfer)
Bentuk kerjasama dimana mitra swasta bertanggung jawab membangun proyek infrastruktur , termasuk membiayai dan kemudian dilanjutkan dengan pengoperasian dan pemeliharaannya, dan kemudian proyek tersebut diserahkan kepada pemerintah pada suatu jangka waktu tertentu. (Pada akhir perjanjian kerjasama seluruh asset proyek diserahkan kepada pemerintah, tanpa penggantian biaya apapun).
Kelemahan : Secara ekonomis tidak menguntungkan, sebab apabila bangunan itu diserahkan dalam jangka waktu 30 tahun, maka nilai dan manfaat bangunan telah berkurang.
b.      Bangun, Alih Milik (Build and Transfer)
Bentuk kerjasama dimana mitra swasta bertanggung jawab membangun proyek infrastruktur termasuk membiayai dan setelah selesai pembangunannya kepemilikan fasilitas akan diserahkan kepada pemerintah.
Pihak swasta tidak memiliki kesempatan untuk mengoperasikan proyek yang dibangun, karena langsung diserahkan kepada pemerintah dan pemerintah selanjutnya akan membayar harga pembangunan proyek tersebut secara mencicil
c.       Bangun, Alih Milik, Kelola (Build, Transfer and Operate)
Bentuk kerjasama dimana mitra swasta bertanggung jawab membangun proyek infrastruktur, termasuk membiayainya dan setelah selasai pembangunan proyek tersebut diserahkan penguasaan dan kepemilikannya kepada pemerintah.
Sedangkan pengoperasian dan pemeliharaan proyek tersebut dilaksanakan oleh Badan Usaha Swasta tersebut. Pengembalian biaya pembangunan, operasi dan pemeliharaan proyek infrastruktur serta keuntungan yang wajar diperoleh dari biaya pemakaian oleh pengguna layanan dan fasilitas infrastruktur tersebut.
d.      Bangun, Sewa, Alih Milik )Build Lease and Transfer)
Bentuk kerjasama dimana mitra swasta bertanggung jawab membangun infrastruktur, termasuk membiayainya. Pemerintah menyewa melalui perjanjian sewa beli kepada pihak swasta selama jangka waktu tertentu. Setelah jangka waktu kontrak berakhir, maka fasilitas infrastruktur tersebut diserahkan penguasaan dan kepemilikannya kepada pihak pemerintah.
e.       Bangun, Milik, Kelola (Build, Own and Operate)
Bentuk kerjasama dimana mitra swasta bertanggung jawab membangun infrastruktur, termasuk membiayainya dan selanjutnya mengoperasikan dan memeliharanya. Mitra Swasta mendapat pengembalian biaya investasi, operasi dan pemeliharaan serta keuntungan yang wajar dengan cara memungut pemabayaran dari pemerintah atas pemakaian infrastruktur tersebut.
f.        Rehab, milik, kelola (Rehabilitate, Own and operate)
Bentuk kerjasama dimana suatu fasilitas infrastruktur milik pemerintah diserahkan kepada mitra swasta untuk diperbaiki dan dioperasikan. Mitra swasta mendapat pengembalian biaya rehabilitas, perasi dan pemeliharaan serta keuntungan yang wajar dengan cara memungut pembayaran dari pemerintah atas pemakaian infrastruktur tersebut.
g.      Rehab, Kelola, alih milik (Rehabilitate, operate and transfer)
Bentuk kerjasama dimana asset atau infrastruktur milik pemerintah diserahkan kepada mitra swasta untuk diperbaiki, dioperasikan dan dipelihara dalam jangka waktu tertentu. Pada waktu berakhirnya kerjasama , fasilitas tersebut diserahkan kembali kepada pemerintah.
h.      Kembang, kelola, alih milik (Develop, operate, and transfer)
Bentuk kerjasama dimana mitra swasta diberi hak untuk mengembangkan prasarana yang sudah ada. Mitra swasta diberikan peluang untuk mengembangkan potensi dan pengelolaannya yang diintegrasikan dalam kerjasama induk.
i.        Tambahan, kelola, alih milik (Add, operate, and transfer)
Bentuk kerjasama dimana mitra swasta melakukan perluasan atau penambahan tertentu atas fasilitas infrastruktur yang sudah ada , termasuk melakukan rehabilitasi yang diperlukan.
5.     5.  Kontrak Konsesi(Concession Contract) (20 – 30 Tahun)
Bentuk kerjasama dimana mitra swasta diberi tanggung jawab menyediakan jasa pengelolaan atas sebagian atau seluruh sistem infrastruktur tertentu, termasuk pengoperasian dan pemeliharaan fasilitas serta pemberian layanan kepada masyarakat dan penyediaan modal kerjanya.

Senin, 06 Agustus 2018

Sejarah dan tentang PDAM di Daerah Istimewah Yogyakarta


1.      Proses PDAM di D.I.Y menjadi BUMD
a.       PDAM Kabupaten Kulon Progo (Tirta Binangun)

Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Binangun Kabupaten Kulon Progo merupakan alih status dari BPAM (Badan Pengelolaan Air Minum) yang ditetapkan     dengan     Keputusan     Menteri     Pekerjaan     Umum     Nomor: 722/KPTS/1992   tentang   Penyerahan   Pengelolaan   Prasarana   dan   Sarana Penyediaan Air Bersih di Kabupaten Kulon Progo kepada Gubernur Kepala
            Badan Pengelolaan Air Minum (BPAM) Kabupaten Kulon Progo yang didirikan   berdasarkan   keputusan   Menteri   Pekerjaan   Umum   Nomor   : 022/KPTS/CK/1984 tentang Pembentukan BPAM Kabupaten Kulon Progo. Pembangunannya dilaksanakan oleh Direktorat Pekerjaan Umum untuk mengambil langkahlangkah yang diperlukan guna terselenggaranya pengelolaan sarana penyediaan air minum di Kabupaten Kulon Progo.
            Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Binangun Kabupaten Kulon Progo didirikan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor : 04 Tahun 1991 dan diumumkan pada Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor : 07 Tahun 1991 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Kulon Progo.
            Peraturan  Daerah  yang  terakhir  mengatur  adalah  Peraturan  Daerah Nomor : 02 Tahun 2009 yang mengubah nama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Kulon Progo menjadi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Binangun Kabupaten Kulon Progo.
           Dasar  Hukum  pembentukan  Perusahaan  Perusahaan  Daerah  Air  Minum Tirta Binangun Kabupaten Kulon Progo adalah sebagai berikut:
a.       Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 722/KPTS/1992, tanggal 24 Oktober 1992 tentang Pengelolaan Prasarana dan Sarana Air Bersih di Kabupaten Dati II Kulon Progo kepada Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
b.      Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Kulon Progo Kulon Progo Nomor  :  4  Tahun  1991  Tanggal  31  Januari  1991,  tentanPerusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Kulon Progo, Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Kulon Progo Nomor : 1, seri B tanggal 22 Agustus 1991.
c.       Berita Acara Serah Terima Pengelolaan Prasarana dan Sarana Air Bersih di Kabupaten Daerah Tingkat II Kulon Progo Nomor: 005/169/DPU.DIY/92 Tanggal 2 November 1992 dari Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kulon Progo
Dalam pengelolaannya Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Binangun Kabupaten Kulon Progo mengacu pada peraturan-peraturan berikut :
a.       Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan daerah-daerah Kota Besar dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan dalam Daerah Istimewa Yogyakarta
b.      Undang-Undang  Nomor  5  Tahun  1962  tentang  Perusahaan  Daerah. Undang-Undang   Nomor   6   Tahun   1969   tentang   Persyaratan   Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
c.       Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008.
d.      Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1984 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan di Lingkungan Pemerintah Daerah
e.       Peraturan Menteri Negara Otonomi Daerah Nomor 8 Tahun 2000 tentang Pedoman Akuntansi Perusahaan Daerah Air Minum.
f.        Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
g.      Keputusan      Menteri      Pendayagunaan      Aparatur      Negara      Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2007    tentang    Pedoman    Umum    Penyelenggaraan Pelayanan Publik
h.      Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penilaian Kinerja Perusahaan Daerah Air Minum
i.        Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor : 04 Tahun 1991 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Kulon Progo.
j.        Surat Keputusan Bupati Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2003 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Kulon Progo.
k.      Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2009 yang mengubah nama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Kulon Progo diubah menjadi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Binangun Kabupaten Kulon Progo.
Visi dan Misi
Visi dan Misi PDAM Tirta Binangun berdasarkan website resmi PDAM Tirta Binangun ialah sebagai berikut :
Visi : Menjadi Perusahaan Air Minum yang Sehat, Mandiri dan Profesional
Misi :
a.       Menyediakan air minum yang memenuhi kualitas, kuantitas dan kontinuitas yang dapat dipertanggungjawabkan
b.      Melakukan pengelolaan usaha secara profesional dengan teknologi tepat guna dan prinsip-prinsip manajemen
c.       Meningkatkan sumber daya manusia
d.      Turut berpartisipasi dalam mengemban tanggung jawab sosial perusahaan
Tujuan : Memenuhi kebutuhan air bersih dan atau air minum guna meningkatkan kesehatan dan mendukung pendapatan asli daerah (PAD), untuk mencapainya perusahaan berpedoman pada asas ekonomi perusahan serta prinsip akutansi perusahaan

Lokasi Perusahan
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Binangun Kabupaten Kulon Progo beralamat di jalan Masjid Agung No. 1 Wates Kulon Progo, memiliki kantor Pusat dan 10 kantor unit pelayanan antara lain :
a. Unit 1. Kalibawang (Banjaroyo & Banjararum)
b. Unit 2. Sentolo & Nanggulan
c. Unit 3. Sendangsari
d. Unit 4 Wates
e. Unit 5. Kokap
f. Unit 6. Temon
g. Unit 7. Bendungan / Panjatan
h. Unit 8. Galur
i. Unit 9. Girimulyo
j. Unit 10. Lendah
b.   
c.       PDAM Kabupaten Gunungkidul
Kondisi geografis Kabupaten Gunungkidul yang berbukit-bukit, kering, dengan jenis bebatuan yang kebanyakan tidak bisa menyimpan air, mempengaruhi persediaan
sumber air yang ada. Hal ini menyebabkan wilayah ini seringkali menghadapi masalah kekurangan air  bersih setiap  musim kemarau. Untuk mengatasi kekuarangan air  di wilayah Kabupaten Gunungkidul, Pemerintah Daerah telah melakukan berbagai upaya yang dilaksanakan melalui Satuan Koordinasi Pelaksanaan Air Bersih (Satkorlak PAB). Salah  satu  kegiatan  yang  dilaksanakan  oleh  Satkorlak  PAB  adalah  melakukan pembagian  air  minum  kepada  masyarakat.  Akan  tetapi  kegiatan  kegiatan  utama Satkorlak PAB ini tidak dapat dilakukan dalam jangka panjang kerena memerlukan biaya operasi yang sangat tinggi.
Oleh sebab itu, pada tahun 1982 Departemen Pekerjaan Umum bekerjasama dengan Pemerintah Daerah membentuk Badan Pengelolaan Air Minum (BPAM)yang bertugas untuk mengelola dan mengembangkan sarana dan prasarana penyediaan air bersih dengan memanfaatkan air sungai bawah tanah. Dengan dibetuknya BPAM tersebut,  masalah  yang  menyangkut  kekurangan  air  bersih  di  Gunungkidul  mulai teratasi dan berkurang, khususnya pada kawasan air di wilayah Zone Selatan.
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1987 tentang Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Gunungkidul, Badan Pengelola Air Minum (BPAM) berubah statusnya menjadi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sampai saat ini pelayanan air bersih yang dilaksanakan oleh PDAM sudah menjangkau hampir seluruh wilayah di Kabupaten Gunungkidul.
Visi, Misi dan Tujuan PDAM Kabupaten Gunung Kidul
Visi PDAM Kabupaten Gunungkidul adalah profesionalisme kerja untuk mewujudkan Perusahaan Daerah Air Minum yang sehat dan mandiri dalam melayani kebutuhan air minum kepada masyarakat.
Misi dari PDAM Kabupaten Gunungkidul adalah :
a.       Peningkatan kualitas SDM dalam pengelolaan perusahaan yang efektif , efisien, memenuhi kebutuhan air bersih baik kuantitas, kualitas maupun kontinuitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat.
b.      Meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat
c.       Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat
d.      Memotivasi kebutuhan air bersih terhadap masyarakat
e.       Meningkatkan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD) dan kesejahteraan karyawan
Tujuan utama didirikan PDAM Kabupaten Gunungkidul adalah untuk melayani air bersih bagi seluruh masyarakat secara terus menerus, efektif dan efisien yang memenuhi syarat-syarat kesehatan dan meningkatkan pengembangan perekonomian daerah.
Tugas Pokok dan Fungsi
Tugas pokok dan fungsi dari PDAM Kabupaten Gunungkidul berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul No.4 Tahun 2002 adalah sebagai berikut:
a.       Tugas Pokok
PDAM memiliki tugas untuk menyelenggarakan pengelolaan air minum untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang mencakup aspek sosial, kesehatan, dan pelayanan umum.
b.      Fungsi
Fungsi dari PDAM antara lain untuk memberikan pelayanan umum atau jasa kepada masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan air bersih serta menyelenggarakan pemanfaatan umum. Selain itu PDAM juga berfungsi untuk mengelola pendapatan meskipun bukan organisasi pencari laba.
d.      

2.      Alasan PDAM D.I.Y menjadi BUMD
Pemerintah D.I.Y mendirikan PDAM yang berbentuk BUMD dengan tujuan agar perusahaan dapat menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam melaksanakan kewajiban pelayanan air bersih kepada masyakarat. Peraturan perundang-undangan mengenai Perusahaan Daerah saat ini masih mengacu pada UU No. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah.
Terdapat juga beberapa alasan PDAM berbentuk BUMD , yaitu :
a.       Alasan Strategis, yaitu pendirian Lembaga usaha bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan dimaksud adalah pelayanan yang belum dapat dipenuhi oleh pihak swasta maupun perorangan karena investasi yang sangat besar, resiko tinggi maupun tingkat eksternalitas yang luas
b.      Alasan Budget, yaitu badan usaha daerah didirikan untuk meningkatkan penerimaan daerah yang berasal bukan dari pajak maupun penerimaan dari pemerintah pusat untuk mendukung belanja daerah dan pembangunan
c.       Alasan Politis, yaitu pendirian usaha yang bermaksud mempertahankan potensi ekonomi yang mempunyai daya dukung politis.

3.      Mengapa PDAM menjadi BUMD yang berhasil di DIY
Karena PDAM Yogyakarta dapat meningkatkan jumlah pelanggan mereka tiap tahunnya dan juga menjaga pelayanan mereka kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan juga daerah
4.      Tarif PDAM Yogyakarta
Menurut Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 56 Tahun 2013 tentang Tarif air minum perusahaan daerah air minum (PDAM) Tirtamarta Yogyakarta menjabarkan tentang tarif air minum dan penjelasan klasifikasi tarif air minum. Dengan rincian sebagai berikut :




Tabel 1.1 Tarif Air Minum dan Penjelasan Klasifikasi Tarif Air Minum
Gol. Tarif

Klasifikasi
Tarif Air Minum (M3)
0-10
11-20
21-30
>30
Rp
Rp
Rp
Rp
I
SOSIAL

1
UMUM
2.100
2.500
2.900
2.900
2
KHUSUS
2.100
2.900
3.800
5.500
II
NON NIAGA

A-1
RUMAH TANGGA
2.500
3.800
5.700
9.500
A-2
RUMAH TANGGA
3.400
4.200
5.700
9.500
A-3
RUMAH TANGGA
4.000
4.500
6.500
9.500
B
RUMAH TANGGA
4.000
4.500
6.500
9.500
C
INSTANSI PEMERINTAH
3.000
5.700
7.500
9.500
III
NIAGA

1
NIAGA KECIL
5.500
8.500
11.500
11.500
2
NIAGA BESAR
10.500
12.500
15.000
15.000
IV
INDUSTRI

1
INDUSTRI KECIL
8.000
10.000
13.500
13.500
2
INDUSTRI BESAR
11.500
12.500
15.000
16.500
V
PUSAT BUDAYA

1
KRATON YOGYAKARTA DAN PURA PAKUALAMAN
50
50
50
50
Sumber : Perwali No 56 Tahun 2013
Ketentuan Pemakaian Air Minimal untuk :
1.      Golongan Tarif Non Niaga adalah 10m3 per bulan
2.      Golongan Tarif Niaga Kecil dan Industri Kecil adalah 10m3 per bulan
3.      Golongan Tarif Niaga Besar dan Industri Besar adalah 30m3 per bulan
Penjelasan klasifikasi tarif air minum
Golongan I Sosial
I-1 SOSIAL UMUM
Yang termasuk dalam klasifikasi Sosial Umum adalah:
a.       Kran umum yang tidak dikomersialkan
b.      Kamar mandi umum yang tidak dikomersialkan
c.       WC umum yang tidak dikomersialkan
d.      Terminal air yang tidak dikomersialkan
I-2 SOSIAL KHUSUS
a.       Tempat Ibadah
b.      Panti Asuhan
c.       Yayasan Sosial
GOLONGAN II NON NIAGA
II A-1 RUMAH TANGGA
Rumah Tangga yang bangunan rumahnya belum permanen / semi permanen dan terletak di wilayah perkampungan yang jalannya hanya dapat dilalui kendaraan roda 2 dan 1 kendaraan roda 4.
II A-3 RUMAH TANGGA
a.       Rumah Tangga dengan bangunan rumah sederhana (RS) yang sudah dikembangkan / ditingkatkan.
b.      Rumah Tangga yang bangunan rumahnya cukup bagus yang terletak dalam wilayah perkampungan / perkotaan.
c.       Rumah Tangga yang bangunan rumahnya terletak dalam lingkungan real estate atau rumah mewah.
d.      Rumah Tangga yang bangunan rumahnya terletak dalam lingkungan elite
e.       Rumah Tangga yang terletak di tepi jalan yang dapat dilalui oleh semua jenis kendaraan kecuali truk tronton dan trailer.
II B RUMAH TANGGA
Rumah Tangga yang dipergunakan untuk melakukan kegiatan usaha / untuk mencari keuntungan.
II C INSTANSI PEMERINTAH
Yang termasuk dalam klasifikasi tarif ini adalah :
a.       Puskesmas
b.      Rumah Sakit / Klinik Pemerintah
c.       Sekolah Negeri / Swasta
d.      Instansi / Lembaga / Kantor Pemerintah
e.       Instansi / Lembaga / Kantor TNI / POLRI
f.        Sarana Instalasi Pemerintah
g.      Kolam Renang Umum Milik Pemerintah
h.      Asrama Pemerintah
i.        Perguruan Tinggi Negeri / Swasta / Akademik

GOLONGAN III NIAGA
III-1 NIAGA KECIL
Yang termasuk dalam klasifikasi tarif ini adalah niaga yang diusahakan secara komersial dengan omset Rp 500.000 sampai dengan Rp 1.000.000 setiap harinya.
Jenis Usaha yang termasuk dalam klasifikasi tarif ini adalah:
a.       Toko / Kios / Warung
b.      Tempat penjualan air
c.       Perusahaan Negara yang diusahakan secara komersial
d.      Kantor Perusahaan Swasta
e.       Rumah Sakit / Klinik Swasta / Apotek
f.        Berngkel
g.      Percetakan
h.      Gudang milikPerusahaan Swasta
i.        Penjahit
j.        Salon Kecantikan / Panti Pijat./ Mandi uap  / Pangkas Rambut
k.      Kolam renang yang diusahakan oleh swasta
l.        Bimbingan Test / Kursus ketrampilan / Biro Jasa
m.    Stasion Kereta Api / Terminal Bus
n.      Losmen / Penginapan
o.      Rumah Makan / Restoran
p.      Golongan Sosial Umum yang dikomersialkan
q.      Niaga lainnya yang sejenis
GOLONGAN IV INDUSTRI
IV-1 INDUSTRI KECIL
Yang termasuk dalam klasifikasi tarif ini adalah industri yang diusahakan secara komersial dengan omset di bawah Rp 1.000.000 setiap harinya.
Jenis Industri yang termasuk dalam klasifikasi tarif ini adalah :
a.       Industri Rumah Tangga
b.      Pengrajin / Sanggar Seni Lukis
c.       Industri Tekstil / Batik
d.      Industri Bahan Kimia / Obat-obatan
e.       Industri Kertas
f.        Industri Gula
g.      Industri Minuman / Es
h.      Peternakan
i.        Furniture
j.        Jenis industri kecil lainnya yang sejenis
IV-2 INDUSTRI BESAR
Yang termasuk dalam klasifikasi tarif ini adalah industri yang diusahakan secara komersial dengan omset diatas Rp 1.000.000 setiap  harinya.
Jenis Industri yang termasuk dalam klasifikasi tarif ini adalah:
a.       Industri Rumah Tangga
b.      Pengrajin / Sanggar Seni Lukis
c.       Industri Tekstil / Batik
d.      Industri Bahan Kimia / Obat-obatan
e.       Industri Kertas
f.        Industri Gula
g.      Industri Minuman / Es
h.      Industri Mobil / Karoseri
i.        Peternakan
j.        Furniture
k.      Jenis Industri Besar lainnya yang sejenis
GOLONGAN V PUSAT BUDAYA
V PUSAT BUDAYA
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pura Pakualaman sebagai pusat Budaya diberlakukan tarif tersendiri. 
   Peraturan Daerah yang terkait dengan PDAM
a.       Peraturan Bupati Kulon Progo Nomor 22 Tahun 2017 Tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah Tahun Anggaran 2018.
                Kebutuhan air bersih masyarakat perkotaan terutama dilayani oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Binangun, dengan sumber air dari Waduk Sermo, Clereng, Tuk Mudal, dan Sungai Progo. Jumlah pelanggan pada tahun 2016 mencapai 22.670 SR. Berdasarkan data ketersediaan air baku didapatkan data debit dari instalasi pengolah air sebesar : 5.682.776 m3/tahun. 
            Dalam rangka memenuhi kebutuhan air minum dan air bersih dalam rumah tangga,masyarakat mengunakan berbagai sumber air. Sumber air baku tersebut antara lain bersumber dari :Sumur Gali, Mata Air, Waduk dan Sungai. Perhitungan  jumlah kebutuhan air baku (standar kebutuhan air baku adalah 60lt/hari/orang) yang digunakan dari sumber-sumber air tersebut.
Berdasarkan perhitungan maka  didapatkan angka total kebutuhan air sebesar 10.499.276 m3/tahun. Jumlah penduduk tahun 2016 adalah 479.419 jiwa sehingga pelayanan air bersih sebesar 54,13% pada tahun 2016.
Berdasarkan jumlah KK yang mempunyai akses terhadap air minum maka dapat diuraikan sebagai berikut :
Tabel 1.2 Sumber Kebutuhan Air Baku
No
Akses Air Baku
Jumlah KK
Perpipaan
1
Jumlah KK yang terkoneksi dengan PDAM
22.670
2
Jumlah KK yang terkoneksi dengan Non PDAM
7.635
Non Perpipaan Terlindungi
3
Jumlah KK dengan Akses air Minum ke sumur Gali Layak
79.193
4
Jumlah KK dengan akses air minum isi ulang
985
Non Perpipaan tidak terlindungi
5
Jumlah KK dengan akses air minum ke sumur gali tidak terlindungi
21.166
6
Jumlah KK dengan akses air minum ke lainnya : Sungai, Danau, Saluran Irigasi, dll
78

Jumlah
131.649
Sumber  Data: Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Kawasan Permukiman Kabupaten Kulon Progo, 2017
Berdasarkan data diatas, dapat ditemui bahwa masih banyak keluarga yang belum mendapatkan akses air minum yang baik Maka dari itu , perlu adanya penambahan jaringan distribusi air minum melalui PDAM atauoun Non PDAM (SPAMdes) sehingga kebutuhan air baku air bersih dapat diakses oleh masyarakat lebih luas.