Pengelolaan
Pariwisata Pesisir Kota Cirebon yang berkelanjutan dengan pembangunan Waterfront City
Komitmen
Negara Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar menjadikan isu pengembangan
potensi sumberdaya alam sebagai isu sentral untuk membangun kesejahteraan
masyarakat. Kondisi geografis Indonesia yang memiliki panjang pantai hingga
kurang lebih 81.000 km yang merupakan pantai terpanjang di dunia , dengan jumlah
pulau mencapai lebih dari 17.500 ini menjadi topik pembahasan yang sangat
penting dalam pengembangan potensi dari segi kelautan di Indonesia. Keadaan ini
juga yang menyebabkan kawasan pesisir menjadi andalan sumber pendapatan
masyarakat Indonesia.
Wilayah
pesisir sendiri memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan
antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumber daya alam dan
jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Kemudian menurut Kay dan Alder pesisir
adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir
merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan. Transisi antara daratan dan
lautan di wilayah pesisir ini telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat
produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luas biasa tehadap manusia. Dalam Pengelolaannya , menurut UUD Negara RI
1945 pasal 33 ayat 3 , secara normatif kekayaan sumberdaya pesisir dikuasai
oleh Negara untuk dikelola sedemikian rupa dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat pesisir perlu adanya perencanaan. Perencanaan
pembangunan pesisir pantai yang berkelanjutan mempertimbangkan atau
memperhatikan pula perkembangan kawasan perkotaan dimana kawasan pesisir pantai itu berada. Pengelolaan wilayah
pesisir yang berkelanjutan dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya
dengan pembangunan waterfront city.
Carr
(1992) mendefinisikan waterfront area atau
kawasan tepi air sebagai area yang dibatasi oleh air dari komunitasnya yang
dalam pengembangannya mampu memasukkan nilai manusia, yaitu kebutuhan akan
ruang public dan nilai alami. Sedangkan Wrenn (1983) mendefinisikan Waterfront development sebagai interface between land and water, yang mengartikan bahwa kata interface disini mengandung pengertian
adanya kegiatan aktif yang memanfaatkan pertemuan antara daratan dan perairan.
Adanya kegiatan inilah yang dapat membedakan kawasan waterfront city dengan kawasan lain , yaitu meski memiliki unsur
air apabila unsur airnya dibiarkan pasif maka tidak dapat disebut waterfront development. Dengan demikian
dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian Waterfront
development adalah pengolahan kawasan tepian air yaitu kawasan pertemuan
antara daratan dan perairan dengan memberikan muatan kegiatan aktif pada
pertemuan tersebut. Perairan yang dimaksud bisa berupa air alami (laut, sungai
, danau) atau unsur air buatan (kolam, danau buatan). Sedangkan muatan kegiatan
bisa berupa aktifitas perairan seperti berperahu atau aktivitas lain yang
memanfaatkan pemandangan sekitar daerah perairan.
Kota
Cirebon terletak di pantai Utara Provinsi Jawa Barat dan berbatasan dengan
sungai kedung pane di sebelah utara, sungai banjir kanal atau kabupaten Cirebon
di sebelah barat, sungai kalijaga di sebelah selatan, dan laut jawa di sebelah
timur . Kota yang memiliki iklim tropis ini terdiri atas 5 kecamatan, yaitu
kecamatan Harjamukti, Lemahwungkuk, Pekalipan, Kesambi, dan Kejaksan. Letaknya
sangat strategis karena merupakan simpul transportasi dari Jakarta menuju
Provinsi Jawa Barat bagian Timur dan Provinsi Jawa Tengah melalui jalur utama
lintas pantai utara, selain itu Kota Cirebon juga memiliki pelabuhan yang
terletak di kecamatan Lemahwungkuk. Keberadaan Pelabuhan ini membuka akses dari
luar kota Cirebon untuk dapat masuk ke kota Cirebon . Letak yang strategis tadi
menjadikan suatu keuntungan bagi kota Cirebon, terutama dari segi perhubungan
dan komunikasi. Kota Cirebon yang secara geografis berada pada posisi 108034’57”
BT dan 6042’56” LS pada pantai utara pulau jawa ini memiliki kondisi
pesisir yang perlu dikembangkan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi.
Lokasi
Kota Cirebon yang terletak di wilayah pantai dan mempunyai panjang +- 7km,
dengan diberlakukannya otonomi daerah maka daerah tersebut memiliki kewenangan
untuk mengelolah wilayah laut sampai 4 mil, dan menjadikan Cirebon memiliki
luas wilayah perairan 51,86 km2 atau 58,13% dari total luas wilayah
daratan dan lautan yang mengyebabkan mayoritas masyarakat pesisirnya berprofesi
sebagai nelayan. Persoalan Umum yang paling mendominasi kehidupan masyarakat
yang berprofesi sebagai nelayan adalah kemiskinan. Sebagai contoh pada
Kecamatan Lemahwungkuk terdapat 2.6944 keluarga miskin dan pada Kecamatan
Kejaksan terdapat 2.751 keluarga miskin. Selain masalah kemiskinan ,
permasalahan lain yang dihadapi kota Cirebon saat ini adalah wilayah
administrasi kota nya yang kecil dan potensi yang dimiliki kota Cirebon kurang
berkembang karena keterbatasan sarana prasarana. Kondisi wilayah pesisir yang
kurang baik akibat terjadinya abrasi ombak laut dan belum adanya penataan di
wilayah pesisir juga merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi kota ini. Meski
begitu, Kota Cirebon sebagai daerah yang kondisi geografisnya merupakan dataran
rendah memiliki kondisi pesisir yang dapat dikembangkan, seperti potensi di
bidang kesejarahan dan peninggalan sejarah seperti keraton-keraton dan makam
sunan dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi kota Cirebon. Selain itu,
terdapat juga potensi di bidang kuliner, Sumber Daya Alam dan sumber daya
manusia atau yang biasa disebut SDM. Potensi ini dapat digunakan untuk
menunjang pertumbuhan ekonomi Kota Cirebon sendiri. Berdasarkan berbagai
permasalahan diatas yang telah dijabarkan, maka perlu adanya penataan dengan
membuat konsep Waterfront City pada
kawasan Pesisir Kota Cirebon. Untuk menjalankan konsep Waterfront City kota Cirebon memerlukan adanya perluasan wilayah
administrasi. Pembangunan pesisir pantai ini merupakan pembangunan yang
berkelanjutan, yakni pembangunan nya luas dan dalam jangka panjang. Waterfront City akan dibangun di atas
tanah reklakmasi tersebut dan tata ruang kota perlu diperhatikan dalam
membangun waterfront city di pesisir
pantai Cirebon. Sehingga, pembangunannya dapat memenuhi tujuan yang hendak di
capai, yakni meningkatkan dan mengembangkan potensi yang ada di pesisir pantai
kota Cirebon.
Aksesibilitas
pesisir pantai kota Cirebon mengandalkan keberadaan Pelabuhan Cirebon.
Optimalisasi Pelabuhan Cirebon akan meningkatkan aktivitas dalam pelabuhan. Hal
ini perlu didukung dengan infrastruktur yang memadai dalam pelabuhan. Selain
itu diperlukan juga sarana dan prasarana di sekitar pelabuhan untuk
meningkatkan aktivitas di pesisir pantai kota Cirebon karena ini akan berdampak
pada keberhasilan Konsep Waterfront City itu
sendiri. Kondisi di sekitar pantai yang akan dibangun waterfront city juga perlu diperhatikan. Keadaan gelombang laut di
pantai utara kota Cirebon, pola sedimentasi yang terjadi dan berbagai hal
lainnya perlu ditinjau dalam perencanaan pembangunan untuk melindungi pantai
dengan memberikan pemecah gelombang lepas pantai. Pemecah gelombang lepas pantai adalah
bangunan yang terpisah dari pantai dan sejajar dengan garis pantai. Gelombang
yang menuju pantai terhalang oleh bangunan tersebut sehingga gelombang yang
sampai pantai sudah mengecil dan energi untuk merusak pantai berkurang. Daerah
di belakang bangunan menjadi tenang.
Transport sedimen sepanjang pantai yang berasal dari daerah di sekitarnya akan
diendapkan di belakang bangunan. Pengendapan tersebut menyebabkan terbentuknya
salient. Apabila bangunan ini cukup panjang terhadap jaraknya dari garis
pantai, maka akan terbentuk tombolo. Pemecah gelombang lepas pantai terdiri
dari suatu seri pemecah gelombang. Wilayah muara sungai yang dijadikan sebagai
tempat berlabuhnya kapal-kapal nelayan pun perlu diberi perlindungan agar tidak
terjadi sedimentasi yaitu dengan membangun jetty.
Jetty
adalah bangunan tegak lurus pantai yang diletakan pada kedua sisi muara sungai
yang berfungsi untuk menahan sedimen atau pasir yang bergerak sepanjang pantai
masuk dan mengendap di muara sungai. Pada penggunaan muara sungai sebagai alur
pelayaran, pengendapan di muara dapat mengganggu lalu lintas kapal. Untuk
keperluan tersebut jetty didesain harus panjang sampai ujungnya berada di luar
gelomabng pecah. Jetty yang panjang membuat transport sedimen sepanjang pantai
dapat tertahan. Kondisi gelombang pada alur pelayaran tidak pecah, sehingga
memungkinkan kapal masuk ke muara sungai. Pembangunan jetty atau pemecah
gelombang dapat melindungi kawasan reklamasi pantai yang di atasnya akan
didirikan waterfront city. Hal ini dapat mengurangi terjadinya abrasi di
kawasan reklamasi tersebut. Jika kawasan reklamasi sudah terlindungi, maka tahap
perencanaan dilanjutkan dengan menata kota baru di tepi laut atau waterfront city.
Pada
konsep waterfront city yang akan dibangun
, pertama yang ada didalamnya adalah permukiman nelayan. Pemukiman nelayan
menjadi salah satu ikon penting dalam pembangunan Waterfront City , karena persebaran penduduk yang tidak merata dan
banyaknya perkampungan nelayan yang bisa dikatakan kumuh menjadi salah satu
masalah bagi pemerintah kabupaten Cirebon sendiri. Pembangunan pemukiman
nelayan di dalam Waterfront City ini
diharapkan menjadi solusi bagi pemerintah kota dalam mengatur permukiman
penduduk pesisir di area tersebut. Kedua Tambak Udang, Tambak udang menjadi
komoditi yang sangat penting dan menjadi salah satu sumber pendapatan daerah
terbesar. Dengan adanya tambak udang di Waterfront
City diharapkan
dapat meningkatkan efektifitas dalam produksi dan distribusi dari hasil Tambak
tersebut. Selain itu juga Waterfront City
dapat menjadi salah satu akses menuju pelabuhan. Kemudian Pusat Kebudayaan
, Cirebon mempunyai kebudayaan yang sangat kaya, batik trusmi yang menjadi satu
daya tarik terkuat. Motif-motifnya yang khas menjadikan batik trusmi banyaik
dicari oleh wisatawan untuk dijadikan buah tangan. Pembangunan pusat kebudayaan
di Waterfront City ini diharapkan
menjadi salah satu ajang promosi bagi kota Cirebon, terlebih di bidang
pariwisata dan budaya. Lalu perlu adanya Ruang Terbuka Hijau yang didalamnya
terdapat tempat rekreasi, sentra kebudayaan dan pusat ekonomi di dalam Waterfront City. Selain itu, Ruang
terbuka hijau ini dapat berfungsi sebagai tempat parkir dan assembly point jika terjadi hal
mendesak. Kemudian perlu adanya tempat pengolahan limbah mandiri didalamnya
sebagai langkah untuk meminimalisir dampak negative dari aktivitas pembangunan
yaitu dengan cara membangun sebuah alat pengolahan limbah pada kawasan waterfront, sehingga limbah yang ada
tidak langsung menuju laut melainkan melalui kegiatan pengolahan terlebih
dahulu agar tidak mencemari kawasan pantai. Hal lain yang perlu ada didalam Waterfront City ialah Pasar. Pasar merupakan
pusat ekonomi yang sangat penting dan menjanjikan bagi masyarakat pesisir itu
sendiri. Kegiatan jual beli, baik hasil laut, hasil tambak, hasil olahan laut,
bahkan hasil kreatifitas masyarakat berupa cinderamata dapat dijual disini. Hal
penting lainnya yang perlu ada di Waterfront
City adalah pengolahan hasil laut. Dimana Olahan hasil laut berupa terasi
adalah produk unggulan yang dimiliki oleh kota Cirebon. Pembangunan tempat
pengolahan hasil laut yang langsung terhubung dengan pusat kegiatan nelayan dan
pemasaran diharapkan mampu memaksimalkan produktifitas pengrajin yang akan
berpengaruh kepada taraf kehidupan masyrakat itu sendiri. Kemudian perlu adanya
tempat rekreasi. Pantai Utara Cirebon yang tergolong kumuh dan kurang baik
dalam penataannya jika ditangani dengan serius bukan tidak mungkin akan menjadi
satu daya tarik bagi wisatawan. Tempat rekreasi berada di ujung Waterfront City dekat perairan. Selain
itu, di area ini aka nada panggung pertunjukan dan ikon kota Cirebon itu
sendiri yang memungkinkannya menjadi objek wisata baru yang menjanjikan. Dan
yang terakhir yaitu pusat kegiatan nelayan. Pada pusat kegiatan nelayan ini
terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI), kegiatan bongkat muat, perawatan
jarring-jaring, dan alat tangkap ikan lainnya, serta penyortiran hasil
tangkapan laut. Area ini dijadikan sebagai pusat aktivitas nelayan yang akan
datang dan pergi melaut.
Daftar
Pustaka :
-Carr S, Francis M, Stone A.M, Rivlin L.G. 1992.
Public Space: Environment and Behaviour Series, Cambridge. Cambridge University
Press
-Kay dan Alder.1999. Coastal Planning and Management,
Second Edition. Taylor and Francis. New York
-Sutrisno, E. 2014. Implementasi Pengelolaan Sumber Daya
Pesisir Berbasis Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu Untuk Kesejahteraan
Nelayan (Studi di Perdesaan Nelayan Cangkol Kelurahan Lemahwungkuk Kecamatan
Lemahwungkuk Kota Cirebon). Jurnal
Dinamika Hukum Vol 14(1)
-Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 33 ayat
3 Tahun 1945. 10 Agustus 2002. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar